Perkara cerai talak yang diajukan
seorang suami terhadap isterinya, sementara suaminya sebenarnya telah
menceraikan isterinya secara liar (di bawah tangan) sebanyak tiga kali yang
dijatuhkan terpisah dalam tiga kali kejadian. Dalam persidangan, keduanya
berkeinginan rujuk kembali karena mengingat masa depan anak-anak.
Bagaimana cara Pengadilan
menjatuhkan putusan ? Bila Pengadilan menganggap tidak ada talak tiga, maka
akan bertentangan dengan hati nurani karena mereka telah menjatuhkan talak dengan
tata cara syariat Islam.
Seandainya Pengadilan memberi
putusan agar suami menjatuhkan talak yang ketiga, maka akan kuat dugaan mereka
tidak akan datang dalam persidangan. Bagaimana jalan keluarnya?
Mahkamah Agung memberi jawaban sebagai berikut :
Mahkamah Agung memberi jawaban sebagai berikut :
Talak di luar Pengadilan tidak sah,
lihat ketentuan pasal 39 Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan
dan pasal 34 Peraturan Pemerintah Nomor. 9 tahun 1975.(MARI. 120:2007).
Pengertian Talak Dalam Prespektif Kefikian.
Talak
dalam bahasa Indonesia diartikan perceraian yang artinya terputusnya tali
perkawinaan yang sah akibat ucapan cerai suami terhadap istrinya. Maksudnya
adalah perceraian karena talak adalah seorang suami yang menceraikan isterinya
dengan menggunakan kata-kata cerai atau talak atau kalimat lain yang mengandung
arti dan maksud menceraikan isterinya, apakah talak yang diucapkan itu talak
satu, dua atau tiga dan apakah ucapan talak itu diucapkan talak dua atau tiga
sekaligus pada satu kejadian atau peristiwa, waktu dan tempat yang berbeda.
Para
ahli hukum Islam (fukaha) berpendapat bahwa bila seseorang mengucapkan
kata-kata talak atau semisalnya terhadap isterinya maka talaknya dianggap sah
dan haram hukumnya bagi keduanya melakukan hubungan biologis sebelum melakukan
rujuk atau ketentuan hukum lain yang membolehkan mereka bersatu sebagai suami
isteri.
Para
fukaha berbeda pendapat tentang kata-kata talak atau semisalnya yang diucapkan
oleh suami kepada isteri dalam kondisi sadar atau tidak misalnya suami dalam
kondisi mabuk, atau karena suami dalam kondisi tidak tenang atau ketika dalam
kondisi marah yang dipicu adanya pertengkaran yang dapat menghilangkan
keseimbangan jiwa suami atau karena dalam kondisi dipaksa.
Abdul Aziz Dahlan et.al dalam buku Ensiklopedi Hukum Islam menjelaskan bahwa talak dalam bahasa arab artinya melepaskan dan meninggalkan suatu ikatan. Dalam istilah hukum talak adalah perceraian ……antara suami isteri atas kehendak suami ( Abdul Aziz Dahlan et.al 1996:1776 ).
Abdul Aziz Dahlan et.al dalam buku Ensiklopedi Hukum Islam menjelaskan bahwa talak dalam bahasa arab artinya melepaskan dan meninggalkan suatu ikatan. Dalam istilah hukum talak adalah perceraian ……antara suami isteri atas kehendak suami ( Abdul Aziz Dahlan et.al 1996:1776 ).
Sayyid
Sabiq dalam Fiqh as Sunnah memberi definisi bahwa talak dalam terminology
bahasa adalah “ al-irsalu wa al-taraku” artinya melepaskan dan meninggalkan.
Sedangkan menurut istilah hukum talak adalah “ hillu rabithatin al zuwaj “
artinya melepaskan ( ikatan ) tali perkawinan. ( Sayyid Sabiq 1975:241)
Ulama
fikih ( fukaha) berpendapat bahwa talak dibagi kepada dua macam yaitu :
- Talak sunni, adalah talak yang dijatuhkan suami sesuai dengan petunjuk yang disyariatkan Islam, yaitu :
- Menalak isteri harus secara bertahap ( dimulai dengan talak satu, dua dan tiga ) dan diselingi rujuk.
- Isteri yang ditalak itu dalam keadaan suci dan belum digauli dan c. Isteri tersebut telah nyata-nyata dalam keadaan hamil.
- Talak bid’i adalah talak yang dijatuhkan suami melalui cara-cara yang tidak diakui syariat islam yaitu:
- Menalak isteri dengan tiga kali talak sekaligus,
- Menalak isteri dalam keadaan haidh,
- Menalak isteri dalam keadaan nifas, dan
- Menjatuhkan talak isteri dalam keadaan suci tetapi telah digauli sebelumnya, padahal kehamilannya belum jelas.
Ulama
fikih juga sepakat menyatakan bahwa menjatuhkan talak bid’i hukumnya haram dan
pelakunya mendapat dosa. Akan tetapi apabila terjadi juga seperti tersebut di
atas, maka jumhur mengatakan talaknya tetap jatuh. Alasan mereka adalah talak
bid’i itupun termasuk dalam keumuman ayat-ayat yang berbicara tentang talak,
seperti surah al- Baqarah ayat 229-230, at-Talak ayat 1-2, dan hadits Nabi SAW
dalam kasus Abdullah bin Umar yang menjatuhkan talak terhadap isterinya yang
sedang haid. Rasulullah bersabda “Suruh dia kembali pada isterinya sampai ia
suci, kemudian suci, lalu suci lagi setelah itu jika ia ingin menceraikan
isterinya itu, dan jika ingin menalak juga lakukanlah ketika itu (ketika suci belum
digauli ( H.R. Muslim, Abu Dawud , Ibnu Majash dan an Nasa’i ) ( Abdul Azizi
Dahlam et.al 1996:1783).
Pengertian
Talak Dalam Hukum Positif.
Dalam
Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan (UU No.1/1974) dan
Peraturan Pemerintah Nomor. 9 Tahun 1975( PP.No 9/1975 ) tentang Pelaksanaan UU
No.1/1975 dalam pengertian umum tidak terdapat definisi talak, kecuali definisi
talak dapat dilihat pada pasal 117 Kompilasi Hukum Islam ( KHI ) yang berbunyi
sebagai berikut :
“Talak
adalah ikrar suami di hadapan sidang Pengadilan Agama yang menjadi salah satu
sebab putusnya perkawinan, dengan cara sebagaimana dimaksud dalam pasal 129,130
dan 131”
Bunyi
pasal 129 KHI berbunyi sebagai berikut :
“Seorang
suami yang akan menjatuhkan talak kepada isterinya mengajukan permohonan baik
lisan maupun tertulis kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggal
isteri dengan alasan serta meminta agar diadakan sidang untuk keperluan itu”/
Pasal
130 KHI berbunyi sebagai berikut :
“Pengadilan
Agama dapat mengabulkan atau menolak permohonan tersebut dan terhadap (ke)
putusan tersebut dapat diminta upaya hukum banding dan kasasi”.
Sedangkan
bunyi pasal 131 KHI berbunyi :
“Pengadilan
Agama yang bersangkutan mempelajari permohonan dimaksud pasal 129 dalam waktu
selambat-lambatnya tiga puluh hari memanggil pemohon dan isterinya untuk
meminta penjelasan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan maksud
menjatuhkan talak”.
Pasal
39 ayat (1) UU. No.1/1974 menyatakan bahwa :
“
Perceraian hanya dapat dilakukan di depan Sidang Pengadilan setelah Pengadilan
yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak”.
Pasal
66 UU. No.1/1974 berbunyi sebagai berikut :
Ayat
(1) Seorang suami yang beragama Islam yang akan menceraikan isterinya
mengajukan permohonan kepada Pengadilan untuk mengadakan sidang guna
menyaksikan ikrar talak.
Ayat
(2) Permohonan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) diajukan kepada
Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat, kecuali apabila termohon
dengan sengaja meninggalkan tempat kediaman yang digunakan bersama tanpa izin
pemohon.
Menurut
pasal 14 PP Nomor 9/1975 dinayatakan bahwa :
Seorang
suami yang telah melangsungkan perkawinan menurut Agama Islam, yang akan
menceraikan isterinya, mengajukan surat kepada Pengadilan di tempat tinggalnya,
yang berisi pemberitahuan bahwa ia bermaksud menceraikan isterinya dengan
alasanalasannya serta meminta kepada Pengadilan agar dilaksanakan untuk
keperluan itu.
Pasal
tersebut di atas secara lex spesialis ditujukan kepada suami yang akan
menceraikan isterinya, sedangkan pasal 34 PP Nomor 9/1975 merupakan lex
spesialis yang menjelaskan bagi isteri yang menggugat suaminya. Pasal tersebut
berbunyi sebagai berikut :
Ayat
(1) Putusan mengenai gugatan perceraian diucapkan dalam sidang terbuka.
Pasal
(2) Suatu perceraian dianggap terjadi beserta akibat-akibatnya terhitung sejak
saat pendaftarannya pada daftar pencatatan pada kantor pencatatan oleh Pegawai
Pencatat, kecuali bagi mereka yang beragama Islam terhitung sejak jatuhnya
putusan Pengadilan Agama yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap.
Dengan
demikian penulis maksudkan judul di atas bukan pasal 34 PP Nomor 9/1975 namun
pasal 14 PP Nomor 9/1975.
Dari
pengertian fikih dan hukum positif maka talak mempunyai kesamaan dan perbedaan
sebagai berikut :
a.
Kesamaannya, pengertian talak dalam fikih, UU No. 1/1974 dan dalam KHI yaitu
talak diucapkan oleh suami kepada isteri,
b.
Perbedaannya, dalam fikih talak diucapkan oleh suami pada waktu dan tempat yang
tidak tertentu, sedangkan dalam KHI dan UU No.1/1974 setelah permohonan izin
menceraikan (mentalak) isterinya dikabulkan oleh Pengadilan dan pengucapan
talak harus dilakukan di depan sidang Pengadilan.
Kesaksian
Talak Menurut Ahli Fikih dan Menurut Hukum Positif.
Kalangan
mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i (kecuali pada qaul qadimnya Imam Syafi’i
berpendapat bahwa pengucapan talak seorang suami terhadap isterinya memerlukan
dua orang saksi ) dan Hanbali berpendapat bahwa pengucapaan talak seorang suami
terhadap isterinya tidak perlu adanya saksi, alasan mereka berpendapat demikian
karena talak merupakan hak mutlak seorang suami terhadap isterinya, sedangkan
suami yang akan menjatuhkan talak terhadap isterinya itu tidak dituntut untuk
menghadirkan saksi, selain itu mereka berpendapat tidak ada satu dalilpun yang
menunjukkan bahwa seorang suami dalam menjatuhkan talak terhadap isterinya
memerlukan saksi.
Berbeda
halnya dengan ulama Syi’ah Imamiyah mereka berpendapat bahwa seorang suami yang
akan menjatuhkan talak terhadap isterinya perlu disaksikan oleh dua orang saksi
dengan mengambil argumerntasi pengertian secara umum surah at Talak (65) ayat 2
(Abdul Aziz Dahlan et.al 1996:1783) yang berbunyi sebagai berikut :
“…..
wa asyhiduu dzawai adlin minkum wa aqiimuu asy syahadata lillahi “ artinya :….
Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu, dan
hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah…..(Q.S. at-Talak ayat 2).
Imam
Abu Dawud menceritakan bahwa Imran bin Husain pernah ditanya tentang seseorang
yang menjatuhkan talak isterinya tanpa saksi, kemudian ia rujuk dengan isterinya
itu tanpa saksi pula. Imran bin Husain ketika itu menyatakan “ dia talak
isterinya tidak sesuai dengan sunah (Rasulullah) dan dia kembali kepada
isterinya tidak sesuai dengan sunnah. Persaksikanlah talaknya itu dan
persaksikan pula rujuknya.
Menurut
pasal 66 ayat (1) UU No.1/1974 sebagaimana yang penulis kutip di atas maka
talak yang akan diucapkan oleh suami terhadap isterinya selain setelah
mengikuti sidang-sidang dan mendapat izin dari Pengadilan, maka Pengadilan
membuka sidang guna penyaksian terhadap suami yang akan menjatuhkan talak
terhadap isterinya.
Tampaknya
pembuat Undang-undang pencantuman pasal 66 ayat (1) UU No.1/1974 diilhami
pendapat ulama Syi’ah dan (qaul qadimnya Imam Syafi’i) yang mensyaratkan adanya
dua orang saksi bila seseorang akan menceraikan/mentalak isterinya.
Dari
uraian tersebut di atas maka menurut fikih dan hukum positif ada perbedaan dan
kesamaan tentang seseorang yang akan menceraikan isterinya yaitu :
a.
Persamaannya, menurut ulama Syi’ah Imamiyah (termasuk qaul qadimnya Imam
Syafii) dan hukum positif bahwa seseorang dalam mengucapkan/mentalak isterinya
perlu adanya saksi.
b.
Perbedaannya, bahwa jumhur ulama mengatakan, pengucapan talak seorang suami
terhadap isterinya tidak perlu adanya saksi, sedangkan dalam hukum positif
menyatakan bahwa dalam menjatuhkan talak seorang suami terhadap isterinya
diperlukan saksi.
Tindakan
Pengadilan Terhadap Perkara Cerai Talak di Bawah Tangan Sementara Pihak Berperkara
Akan Rujuk.
Terhadap
pertanyaan dari Mahkamah Syar’iyah Provinsi NAD kepada Mahkamah Agung RI yang
dikutip pada awal tulisan ini, maka Pengadilan (Hakim) dalam memeriksa perkara
tersebut haruslah bijaksana. Dari satu sisi sebagai muslim hukum fikih yang
berjalan dan hidup di tengah-tengah masyarakat muslim di Nangroe Aceh Darussalam
perlu mendapat apresiasi, karena sebagai muslim yang patuh terhadap ajaran
agamanya perlu mendukung hukum yang hidup di masyarakat terutama sekali hukum
syari’ah. Dari sisi lain sebagai muslim plus sebagai hakim Negara wajib untuk
menegakkan hukum yang berlaku di Negara Kesatuan Republik Indonesia termasuk
Undang-undang dan peraturan lain tentang perkawinan.
Dalam
Islam seorang suami yang akan menceraikan/mentalak isterinya haruslah
mengetahui rukun dan syarat dalam melakukan talak terhadap isteri yang akan
diceraikannya.
Kalangan
ahli fikih kontemporer seperti Muhammad Abu Zahra, Ali Hasbalah, Ali Al-Khalif,
Mustafa As-Siba’i , Mustafa Ahmad az Zarqa, Abdur Rahman As-Sabuni dan Sayid
Sabiq berpendapat bahwa kesaksian dalam talak sangat logis, sehingga terjadi
keseimbangan (tawazun) kepentingan kesaksian dalam masalah perkawinan dan
perceraian.
Mereka-mereka
yang penulis sebutkan di atas berpendapat bahwa “dalam perubahan situasi dan
kondisi yang diakibatkan perkembangan zaman, persoalan saksi semakin penting
karena waziib ad-diin (tanggung jawab religius) masing-masing suami semakin
melemah, sehingga dikhawatirkan talak tersebut dapat digunakan secara
sewenang-wenang.” (A.Z. Dahlan 1996:1783).
UU.
No.1/1974, PP. No.9/1975 dan KHI tidak mentolerir adanya perceraian di bawah
tangan, hal itu dimaksudkan agar seorang suami tidak semena-mena menceraikan
isterinya tanpa adanya aturan yang harus dipedomani.
Lalu
bagaimana tindakan hakim dalam memproses perkara yang ditangani atas kasus yang
diajukan oleh Mahkamah Syariyah Provinsi Nangroe Aceh Darussalam tersebut?.
Karena yang diajukan itu ada beberapa pertanyaan maka solusinya sebagai
berikut:
- Sesuai hukum acara yang berlaku bagi Pengadilan Agama dalam bidang perkawinan bahwa selama perkara yang diajukan oleh pihak-pihak berperkara belum diputus, maka kewajiban hakim untuk mengusahakan perdamaian secara maksimal.
- Pasal 69 UU No.1/1974 menjelaskan bahwa : “ Dalam pemeriksaan perkara cerai talak ini berlaku ketentuan-ketentuan pasal 79,pasal 80 ayat (2), pasal 82 dan pasal 83.
Pasal
82 UU no.1/1974 ayat (4) UU No.1/1974 berbunyi sebagai berikut:
“Selama
perkara belum diputus, usaha mendamaikan dapat dilakukan pada setiap sidang
pemeriksaan”.
Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia kata “mendamaikan” berarti menyelesaikan permusuhan (pertengkaran dan sebagainya) supaya kedua pihak berbaik kembali. (WJS Poerwadaminta 1985:234).
Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia kata “mendamaikan” berarti menyelesaikan permusuhan (pertengkaran dan sebagainya) supaya kedua pihak berbaik kembali. (WJS Poerwadaminta 1985:234).
Kasus
yang dikemukakan tersebut jelas bahwa kedua belah pihak berperkara akan
mengakhiri berperkara di Mahkamah Syar’iyah (bisa dibaca Pengadilan Agama),
apakah tindakan pihak-pihak tersebut atas prakarsa atau upaya hakim dalam
mendamaikan, ataukah karena inisiatif pihak-pihak sendiri mengingat anakanaknya
perlu mendapat perhatian dari orang tuanya.
Apalagi
kalau pihak Termohon/isteri datang dalam persidangan, maka hakim sebelum
melanjutkan pemeriksaan menyarankan agar pihak-pihak menempuh proses mediasi
sesuai amanat Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 1 tahun 2008.
Nah,
bila hal itu telah terjadi ( damai ) maka hakim menyarankan agar Pemohon/Penggugat
membuat pernyataan mencabut perkaranya (kalau pihak Termohon/Tergugat hadir
maka diperlukan persetujuannya) sehingga tidak ada alasan bagi hakim untuk
melanjutkan pemeriksaan atas perkara yang mereka ajukan ke Mahkamah Syar’iyah (
Pengadilan Agama ).
Kesimpulannya,
apabila tercapai perdamaian maka perkara perceraian tersebut dicabut, untuk itu
hakim membuat penetapan yang menyatakan perkara telah dicabut karena perdamaian
dan menyatakan demi hukum (positif) para pihak masih dalam ikatan perkawinan yang
sah berdasarkan Akta Nikah yang dikeluarkan oleh Kantor Urusan Agama (KUA)
Kecamatan yang bersangkutan, di mana mereka dahulu melakukan perkawinannya.
Penetapan yang semacam ini tidak dapat dimintakan upaya hukum. (Mujahidin
2008:172)
b.
Talak tiga yang sesuai dengan tata cara syari’at yang sempat diucapkan oleh
pihak suami terhadap isterinya (diluar sidang Mahkamah Syar’iyah/Pengadilan
Agama) itu bukanlah wewenang Mahkamah Syar’iyah/Pengadilan Agama justeru
Pengadilan tidak mentolerirnya, karena perceraian bisa terjadi bila dilakukan
di depan sidang Mahkamah Syar’iyah/Pengadilan Agama.
Pasal 65 UU No.1/1974 menyatakan bahwa “ Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak”.
Pasal 65 UU No.1/1974 menyatakan bahwa “ Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak”.
c.
Benarkah bila Mahkamah Syar’iyah/Pengadilan menganggap tidak ada talak tiga,
maka akan bertentangan dengan hati nurani ? karena mereka telah menjatuhkan
talak dengan tata cara syariat Islam.
Menurut
pasal 65 dan 82 UU No.1/1974 jo pasal `115 KHI bahwa sebelum perkara
(perkawinan) belum final/diberi putusan maka hakim wajib untuk mendamaikan kedua
belah pihak yang berperkara.
Dalam
mendamaikan bukan berarti bahwa hakim hanya berusaha agar pihak-pihak
mengakhiri sengketanya dengan harapan dapat kembali rukun, damai tetapi
mendamaikan diartikan lebih dari itu, termasuk di dalamnya upaya mendamaikan
itu hakim menasehati dan memberi arahan kepada kedua belah pihak yang akan
mengakhiri sengketanya, termasuk memberi arahan kepada pihak-pihak terutama
sekali kepada suami yang telah menjatuhkan talaknya secara liar (tanpa prosedur
yang diatur dalam Undang-undang).
Karena
Pemohon telah menjatuhkan talaknya yang ketiga secara liar/di bawah tangan
(talak bain kubra), maka hakim atau mediator memberi nasehat-nasehat kepada
pihak-pihak bahwa secara fikih Pemohon tidak dapat lagi rujuk kepada isterinya
sebelum isterinya menikah lagi dengan laki-laki lain dan bercerai setelah
adanya hubungan suami isteri.
Nah,
karena perceraian itu dilakukan di bawah tangan, maka perkawinan isterinya
terhadap suami yang kedua tentu juga di bawah tangan, dan seterusnya dalam
proses/langkah-langkah seterusnya. Memang repot dan memang repot dan ribet,
itulah konsekwensinya bagi masyarakat yang tidak taat hukum.
c. Dapatkah Pengadilan memberi putusan
agar suami menjatuhkan talak yang ketiga.?
Oleh karena pihak-pihak akan mengakhiri sengketanya maka hakim tidak ada alasan lagi untuk melanjutkan pemeriksaan atas perkara a quo, bahkan sebaliknya hakim tidak dibenarkan memberi putusan dan mengabulkan permohonan Permohon dengan memberi izin kepada Pemohon untuk mengucapkan ikrar talak tiga, jelas hal itu tidak sesuai dengan Undang-undang, justeru dalam produknya hakim wajib membuat penetapan bahwa perkara tersebut dicabut karena telah terjadi perdamian, kemudian hakim memberitahukan kepada pihak-pihak bahwa mereka tidak perlu datang lagi dalam persidangan karena pekaranya telah selesai dan diputus.
Oleh karena pihak-pihak akan mengakhiri sengketanya maka hakim tidak ada alasan lagi untuk melanjutkan pemeriksaan atas perkara a quo, bahkan sebaliknya hakim tidak dibenarkan memberi putusan dan mengabulkan permohonan Permohon dengan memberi izin kepada Pemohon untuk mengucapkan ikrar talak tiga, jelas hal itu tidak sesuai dengan Undang-undang, justeru dalam produknya hakim wajib membuat penetapan bahwa perkara tersebut dicabut karena telah terjadi perdamian, kemudian hakim memberitahukan kepada pihak-pihak bahwa mereka tidak perlu datang lagi dalam persidangan karena pekaranya telah selesai dan diputus.
Kesimpulan :
Dari tulisan tersebut di atas maka dapat diambil suatu kesimpulan (konklusi ) bahwa:
Dari tulisan tersebut di atas maka dapat diambil suatu kesimpulan (konklusi ) bahwa:
- Talak adalah perceraian yang dilakukan dan diucapkan oleh suami terhadap isterinya di depan persidangan Pengadilan setelah Pengadilan memberi izin kepada suami (Pemohon).
- Talak yang diucapkan di luar persidangan Pengadilan merupakan talak liar, keabsahannya secara hukum tidak sah karena dianggap tidak pernah terjadi perceraian.
- Perceraian/talak yang dijatuhkan atau diucapkan melalui putusan atau dalam sidang Pengadilan dimaksudkan untuk membela hak kewajiban, status suami isteri secara hukum, sekaligus memberi pendidikan hukum agar perceraian/talak tidak sewenang-wenang dilakukan tanpa adanya proses, pembuktian-pembuktian.
- Sebagai hakim muslim perlu memberi pengertian kepada pihak-pihak yang telah menjatuhkan talak liar ditinjau secara hokum serta memberi solusi terhadap perkara yang diajukan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar